Sejarah Kabupaten Garut berawal dari pembubaran Kabupaten Limbangan pada
tahun 1811 oleh Daendels dengan alasan produksi kopi dari daerah Limbangan
menurun hingga titik paling rendah nol dan bupatinya menolak perintah menanam
nila (indigo). Pada tanggal 16 Pebruari 1813, Letnan Gubernur di Indonesia yang
pada waktu itu dijabat oleh Raffles, telah mengeluarkan Surat Keputusan tentang
pembentukan kembali Kabupaten Limbangan yang beribu kota di Suci. Untuk sebuah
Kota Kabupaten, keberadaan Suci dinilai tidak memenuhi persyaratan sebab daerah
tersebut kawasannya cukup sempit.
Berkaitan dengan hal tersebut, Bupati Limbangan Adipati Adiwijaya
(1813-1831) membentuk panitia untuk mencari tempat yang cocok bagi Ibu Kota
Kabupaten. Pada awalnya, panitia menemukan Cimurah, sekitar 3 Km sebelah Timur
Suci (Saat ini kampung tersebut dikenal dengan nama Kampung Pidayeuheun). Akan
tetapi di tempat tersebut air bersih sulit diperoleh sehingga tidak tepat
menjadi Ibu Kota. Selanjutnya panitia mencari lokasi ke arah Barat Suci, sekitar
5 Km dan mendapatkan tempat yang cocok untuk dijadikan Ibu Kota. Selain tanahnya
subur, tempat tersebut memiliki mata air yang mengalir ke Sungai Cimanuk serta
pemandangannya indah dikelilingi gunung, seperti Gunung Cikuray, Gunung
Papandayan, Gunung Guntur, Gunung Galunggung, Gunung Talaga Bodas dan Gunung
Karacak.
Saat ditemukan mata air berupa telaga kecil yang tertutup semak belukar
berduri (Marantha), seorang panitia "kakarut" atau tergores tangannya sampai
berdarah. Dalam rombongan panitia, turut pula seorang Eropa yang ikut membenahi
atau "ngabaladah" tempat tersebut. Begitu melihat tangan salah seorang panitia
tersebut berdarah, langsung bertanya : "Mengapa berdarah?" Orang yang tergores
menjawab, tangannya kakarut. Orang Eropa atau Belanda tersebut menirukan kata
kakarut dengan lidah yang tidak fasih sehingga sebutannya menjadi
"gagarut".
Sejak saat itu, para pekerja dalam rombongan panitia menamai tanaman
berduri dengan sebutan "Ki Garut" dan telaganya dinamai "Ci Garut". (Lokasi
telaga ini sekarang ditempati oleh bangunan SLTPI, SLTPII, dan SLTP IV Garut).
Dengan ditemukannya Ci Garut, daerah sekitar itu dikenal dengan nama Garut..
Cetusan nama Garut tersebut direstui oleh Bupati Kabupaten Limbangan Adipati
Adiwijaya untuk dijadikan Ibu Kota Kabupaten Limbangan.
Pada tanggal 15 September 1813 dilakukan peletakkan batu pertama
pembangunan sarana dan prasarana ibukota, seperti tempat tinggal, pendopo,
kantor asisten residen, mesjid, dan alun-alun. Di depan pendopo, antara
alun-alun dengan pendopo terdapat "Babancong" tempat Bupati beserta pejabat
pemerintahan lainnya menyampaikan pidato di depan publik. Setelah tempat-tempat
tadi selesai dibangun, Ibu Kota Kabupaten Limbangan pindah dari Suci ke Garut
sekitar Tahun 1821. Berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Jenderal No: 60
tertanggal 7 Mei 1913, nama Kabupaten Limbangan diganti menjadi Kabupaten Garut
dan beribu kota Garut pada tanggal 1 Juli 1913. Pada waktu itu, Bupati yang
sedang menjabat adalah RAA Wiratanudatar (1871-1915). Kota Garut pada saat itu
meliputi tiga desa, yakni Desa Kota Kulon, Desa Kota Wetan, dan Desa Margawati.
Kabupaten Garut meliputi Distrik-distrik Garut, Bayongbong, Cibatu, Tarogong,
Leles, Balubur Limbangan, Cikajang, Bungbulang dan Pameungpeuk.
Pada tahun 1915, RAA Wiratanudatar digantikan oleh keponakannya Adipati
Suria Karta Legawa (1915-1929). Pada masa pemerintahannya tepatnya tanggal 14
Agustus 1925, berdasarkan keputusan Gubernur Jenderal, Kabupaten Garut disahkan
menjadi daerah pemerintahan yang berdiri sendiri (otonom). Wewenang yang
bersifat otonom berhak dijalankan Kabupaten Garut dalam beberapa hal, yakni
berhubungan dengan masalah pemeliharaan jalan-jalan, jembatan-jembatan,
kebersihan, dan poliklinik. Selama periode 1930-1942, Bupati yang menjabat di
Kabupaten Garut adalah Adipati Moh. Musa Suria Kartalegawa. Ia diangkat menjadi
Bupati Kabupaten Garut pada tahun 1929 menggantikan ayahnya Adipati Suria Karta
Legawa (1915-1929).
Perkembangan Fisik Kota
Sampai tahun 1960-an, perkembangan fisik Kota Garut dibagi menjadi tiga
periode, yakni pertama (1813-1920) berkembang secara linear. Pada masa itu di
Kota Garut banyak didirikan bangunan oleh Pemerintah Kolonial Belanda untuk
kepentingan pemerintahan, berinvestasi dalam usaha perkebunan, penggalian sumber
mineral dan objek wisata. Pembangunan pemukiman penduduk, terutama disekitar
alun-alun dan memanjang ke arah Timur sepanjang jalan Societeit Straat.
Periode kedua (1920-1940), Kota Garut berkembang secara konsentris.
Perubahan itu terjadi karena pada periode pertama diberikan proyek pelayanan
bagi penduduk. Wajah tatakota mulai berubah dengan berdirinya beberapa fasilitas
kota, seperti stasiun kereta api, kantor pos, apotek, sekolah, hotel, pertokoan
(milik orang Cina, Jepang, India dan Eropa) serta pasar.
Periode ketiga (1940-1960-an), perkembangan Kota Garut cenderung mengikuti
teori inti berganda. Perkembangan ini bisa dilihat pada zona-zona perdagangan,
pendidikan, pemukiman dan pertumbuhan penduduk.
Keadaan Umum Kota
Pada awal abad ke-20, Kota Garut mengacu pada pola masyarakat yang
heterogen sebagai akibat arus urbanisasi. Keanekaragaman masyarakat dan
pertumbuhan Kota Garut erat kaitannya dengan usaha-usaha perkebunan dan objek
wisata di daerah Garut.
Orang Belanda yang berjasa dalam pembangunan perkebunan dan pertanian di
daerah Garut adalah K.F Holle. Untuk mengenang jasa-jasanya, pemerintah Kolonial
Belanda mengabadikan nama Holle menjadi sebuah jalan di Kota Garut, yakni jalan
Holle (Jl.Mandalagiri) dan membuat patung setengah dada Holle di Alun-alun
Garut.
Pembukaan perkebunan-perkebunan tersebut diikuti pula dengan pembangunan
hotel-hotel pada Tahun 1917. Hotel-hotel tersebut merupakan tempat menginap dan
hiburan bagi para pegawai perkebunan atau wisatawan yang datang dari luar
negeri. Hotel-hotel di Kota Garut , yaitu Hotel Papandayan, Hotel Villa Dolce,
Hotell Belvedere, dan Hotel Van Hengel.
Di luar Kota Garut terdapat Hotel Ngamplang di Cilawu, Hotel Cisurupan di
Cisurupan, Hotel Melayu di Tarogong, Hotel Bagendit di Banyuresmi, Hotel
Kamojang di Samarang dan Hotel Cilauteureun di Pameungpeuk. Berita tentang
Indahnya Kota Garut tersebar ke seluruh dunia, yang menjadikan Kota Garut
sebagai tempat pariwisata.
Penetapan Hari Jadi Garut
Sebagaimana sudah disepakati sejak awal, semua kalangan masyarakat Garut
telah menerima bahwa hari jadi Garut bukan jatuh pada tanggal 17 Mei 1913 yaitu
saat penggantian nama Kabupaten Limbangan menjadi Kabupaten Garut, tetapi pada
saat kawasan kota Garut mulai dibuka dan dibangun sarana prasarana sebagai
persiapan ibukota Kabupaten Limbangan. Oleh karena itu, mulai tahun 1963 Hari
Jadi Garut diperingati setiap tanggal 15 September berdasarkan temuan Tim
Pencari Fakta Sejarah yang mengacu tanggal 15 September 1813 tersebut pada
tulisan yang tertera di jembatan Leuwidaun sebelum direnovasi. Namun keyakinan
masyarakat terhadap dasar pengambilan hari jadi Garut pun berubah. Dalam PERDA
Kabupaten Garut No. 30 Tahun 2011 tentang Hari Jadi Garut, dinyatakan bahwa Hari
Jadi Garut dipandang lebih tepat pada tanggal 16 Februari 1813.
Penelusuran hari jadi Garut berpijak pada pertanyaan kapan pertama kali
muncul istilah “Garut”. Seperti dijelaskan dalam Latar Belakang di atas, bahwa
ungkapan itu muncul saat “ngabaladah” dalam mencari tempat untuk ibukota
Kabupaten Limbangan yang diperintahkan R.A.A Adiwijaya sebagai Bupati yang
dilantik pada tanggal 16 Februari 1813. Fakta tentang Jembatan Leuwidaun yang
peletakkan batu pertamanya adalah tanggal 15 September 1918 juga tetap
diperhitungkan. Dengan demikian, asal mula tercetus kata “Garut” adalah diyakini
berada pada sebuah hari antara 16 Februari 1813 s.d. 15 September 1918.
